Hajatan Tionghoa Lintas Agama

AKHIR Januari lalu jadi momen istimewa bagi muslim Tionghoa. Tahun Baru Imlek 2557 dan Hijriah 1427 datang bersusulan: 29 dan 31 Januari 2006. Sebagai keturunan Tionghoa, mereka dibesarkan dalam keluarga yang biasa memperingati Imlek. Sebagai muslim, mereka diajarkan bahwa 1 Muharam adalah Tahun Baru Islam.

Status muslim tak menghalangi hajat mereka merayakan Imlek. Padahal, tahun baru Cina itu, menurut pengikut Konghucu, bagian ritual agama. Mereka biasa memperingatinya di kelenteng. Penganut Buddha juga mengadopsinya sebagai ritual di vihara. Namun kalangan Tionghoa muslim memilih merayakan dengan nuansa Islam di masjid. Kali ini, spirit Imlek dipadukan dengan hikmah Muharam.

''Kami menyerukan salat dan sujud syukur bersama di masjid masing-masing,'' kata Trisno Adi Tantiono, Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Pusat. Seruan itu dituangkan dalam surat resmi DPP PITI tertanggal 16 Januari 2006. Gaungnya menggema sampai daerah.

Akhir pekan lalu, muslim Tionghoa Yogyakarta menyiapkan Imlek di Masjid Syuhada, Yogyakarta, untuk digelar awal Februari ini. ''Kami akan mengisinya dengan sujud syukur, pengajian, dan salat hajat,'' ujar Hj. Lie Sioe Fen, Ketua PITI Yogyakarta.
Imlek di Masjid Syuhada itu digelar tiap tahun sejak 2002. Semula pesertanya hanya 40-an orang. Tahun lalu, peminat Imlek di masjid melonjak sampai 200-an orang. Lie sendiri memperingati Imlek secara Islam sejak ia masuk Islam pada 1983. ''Imlek itu hanya tradisi, tak ada kaitannya dengan agama tertentu,'' kata Lie. Ia memahami sejarah Imlek sebagai penanda berakhirnya musim dingin dan tibanya musim semi. Bagi masyarakat Cina yang mayoritas petani, musim dingin amat menyedihkan karena tak bisa bercocok tanam. ''Begitu musim semi tiba, mereka menyambut dengan sukacita,'' papar Lie.

Tradisi Imlek, kata Lie, sudah ada sebelum agama-agama ada. Maka, Imlek bisa diperingati penganut agama apa saja. DPP PITI juga berpandangan begitu: Imlek bukan milik agama tertentu. Hari itu menjadi budaya leluhur etnis Tionghoa untuk silaturahmi keluarga dan beranjang sana pada famili yang lebih tua.

Itulah sebabnya, muslim Tionghoa tak memutus silaturahmi dengan kerabat Cina lain yang nonmuslim. Sejak Jumat pekan lalu hingga Selasa ini, PITI Yogyakarta bergabung dengan kaum Cina lintas agama, mengadakan Pekan Budaya Tionghoa di Yogyakarta.

Di Solo, Jawa Tengah, Rudiansyah alias Tan Djang Sien, 36 tahun, yang masuk Islam sejak 20 tahun silam, merayakan Imlek bersama orangtuanya yang nonmuslim. ''Imlek bukan pengamalan suatu agama. Itu adat istiadat nenek moyang kami,'' kata anggota panitia peringatan Imlek di Taman Sriwedari, Solo, itu. Ia tak bikin Imlek di masjid. ''Karena muslim Tionghoa di Solo belum punya wadah,'' katanya kepada Mukhlison S. Widodo dari Gatra.

Meski menyerukan sujud syukur di masjid, DPP PITI tidak membuat Imlek khusus di masjid. Mereka mengisi dengan memberi santunan pada 1.000 keluarga Tionghoa miskin di Tangerang. ''Tidak semua Tionghoa kaya,'' ujar Syarif Siangan Tanudjaya, Kepala Bidang Pendidikan PITI. Tiap paket terdiri dari 5 liter beras, tiga bungkus mi instan, satu kotak biskuit, dan angpao Rp 10.000. Penerimanya bukan hanya Tionghoa muslim, melainkan juga yang nonmuslim.

Secara internal, berbagai aksi Tionghoa muslim dalam memperingati Imlek ini jadi ajang silaturahmi sesama Tionghoa, apa pun agamanya. Beda agama tak membuat mereka cerai-berai. Secara eksternal, dengan membangun opini publik bahwa Imlek bukan ritual agama tertentu, mereka hendak menepis kesan eksklusif kaum Tionghoa.

Begitulah amatan Arief Akhyat, pakar sejarah Tionghoa dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ''Itu bagian upaya mereka menghilangkan kesan eksklusif,'' ujar Arief. Kesan itu, menurut Arief, karena sejak 1965 --ketika kaum Tionghoa dipaksa memilih satu dari lima agama resmi-- mereka identik dengan nonmuslim. ''Padahal, fenomena Tionghoa muslim ada sejak abad ke-14.''

Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, Budi Santoso Tanuwibowo, mempersilakan penganut agama apa pun memperingati Imlek. ''Itu sah-sah saja. Semakin banyak yang memiliki, saya kira semakin baik, ya,'' kata Budi kepada Sanwani Soehaly dari Gatra. ''Tapi jangan bilang Imlek tidak terkait agama tertentu.''

Bagi penganut Konghucu, menurut Budi, Imlek adalah bagian ritual agama, sekaligus bagian sejarah Tionghoa. Tapi, bila agama lain mau merayakan? ''Ya, monggo saja,'' ujarnya.

Asrori S. Karni, Rahman Mulya, dan Puguh Windrawan (Yogyakarta)
[Agama, Gatra Nomor 12 Beredar Senin, 23 Januari 2006]

“To convert to Islam is very easy. Probably the most difficult part of that, is to make sure that you are really convinced that Islam is the truth and the right way to follow. What you need to do after becoming a Muslim is learning some Islamic regulations. Islam is a practical religion and it provides clear guidance on what to do and not to do”.